Profil Penabulu

Masyarakat sipil Indonesia yang berdaya

Yayasan Penabulu didirikan di Jakarta sejak tahun 2002, dan disahkan oleh notaris Riana Hutapea, notaris di Jakarta, melalui Akta No. 1 tertanggal 22 Oktober 2003 dan dikukuhkan melalui SK Menteri Hukum dan HAM RI No: C-435 HT.01.02.TH 2004. Sejak berdirinya, Penabulu telah meletakkan visinya pada keberdayaan organisasi masyarakat sipil Indonesia.

Pada periode pertama 2002–2009, Penabulu menemukan momentumnya yang pertama, dengan fokus penguatan pada aspek pengelolaan keuangan organisasi nirlaba. PSAK 45 atau Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 yang dikeluarkan oleh IAI tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba yang mulai diberlakukan efektif sejak tahun buku 2000 (kemudian direvisi pada tahun 2011) menjadi latar belakang utama kerja penguatan Penabulu pada periode tersebut. Berbasis standar pelaporan keuangan tersebut, tuntutan akuntabilitas organisasi nirlaba mulai disuarakan dengan kuat terutama oleh lembaga donor, penyumbang sumber daya terbesar organisasi masyarakat sipil Indonesia. Periode tersebut ditutup dengan pengembangan komunitas keuangan LSM, ruang berbagi pengetahuan dan literasi dengan sentuhan teknologi informasi dan komunikasi yang kala itu didorong berkembangnya era web interaktif 2.0, web yang memungkinkan adanya interaksi online antar anggota komunitas.

Pengalaman Penabulu sebelumnya dalam menguatkan kapasitas pengelolaan keuangan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, membawa Penabulu bersentuhan dengan elemen pengelolaan organisasi yang lain. Penabulu kemudian sampai pada kesimpulan dan keyakinan baru, bahwa transparansi, akuntabilitas serta keberlanjutan organisasi masyarakat sipil di Indonesia tidak hanya bisa dibangun di atas ketangguhan pilar pengelolaan keuangan belaka.

Maka pada periode kedua 2010–2014, Penabulu mencoba mengembangkan fokus kerja tambahan dengan titik tekan baru pada aspek penguatan pengelolaan kelembagaan dan pengelolaan program (perencanaan-pemantauan-evaluasi), pengelolaan sumber daya manusia, maksimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, seiring dengan pengelolaan data-informasi-pengetahuan. Selain aspek manajemen tersebut, Penabulu juga mulai mengembangkan kompetensi dan portofolio pada upaya penggalangan sumber daya dan pengembangan model-model bisnis sosial.

Periode pertumbuhan kedua ini bersamaan dengan setengah-perjalanan transformasi besar organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Selain perubahan eksternal yang mendasar seperti perkembangan dahsyat era teknologi digital, pergeseran pendulum kekuatan ekonomi dunia, serta laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri; berubahnya isu dukungan dan pola pendanaan lembaga donor merupakan pemicu utama proses transformasi tersebut. Pada periode transformasi ini, penguatan kelembagaan organisasi masyarakat sipil di Indonesia mendapati dukungan puncaknya. Isu akuntabilitas sebagai sasaran penguatan di periode awal telah dikuatkan dengan isu profesionalitas (efektifitas dan efisiensi kinerja) dan juga isu keberlanjutan (atau ancaman ketidakberlanjutan) organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

Momentum tersebut memungkinkan Penabulu untuk mengembangkan unit-unit layanan utama dan pendukung, melakukan kreasi atas produk-produk hasil pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh selama ini, melakukan kerja kolaboratif bersama sekian banyak mitra strategis, yang tersebar di seluruh Indonesia, dan pada saat yang sama, mencoba mendiversifikasi sumber-sumber dukungan pendanaan organisasi.

Masih dalam kerangka tuntutan transformasi organisasi masyarakat sipil Indonesia, lahirlah Penabulu Alliance pada periode pertumbuhan kedua tersebut; aliansi strategis pengembangan gagasan, inisiatif, dan kegiatan penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil Indonesia dalambentuk ‘keterikatan yang lepas’, dimana setiap elemen didalamnya memiliki kebebasan gerak dalam pencapaian tujuannya masing-masing, namun tetap terikat secara kolektif pada visi bersama dalam jangka panjang, yaitu: keberdayaan dan keberlanjutan masyarakat sipil di Indonesia. Penabulu memaknai rekayasa institusi ini sebagai sebuah upaya membangun keberlanjutan tujuan organisasi di masa depan; fokus pada kemandirian unit masing-masing dalam pelayanan, dan mencoba bertahan hidup dari keunggulan layanan dan produk dari masing-masing unit itu sendiri, tidak lagi harus bergantung pada dukungan lembaga donor.

Strategi dan proses pencapaian tatanan akhir periode pertumbuhan kedua Penabulu masih akan terus berlangsung dan masih perlu diuji serta dimodifikasi. Bersamaan dengan itu, Penabulu kini memasuki periode pertumbuhan ketiga sejak awal tahun 2015.

Pada periode baru ini, Penabulu menyadari bahwa definisi ‘masyarakat sipil’ perlu dimaknai ulang. Bukankah: komunitas pengelola sampah, kelompok-kelompok relawan, jurnalis independen, asosiasi profesi, usahawan sosial, kelompok-kelompok perempuan dan juga komunitas-komunitas difabel atau inisiatif kolektif lainnya yang menyodorkan solusi alternatif dan bahkan sekitar 74 ribu desa yang kini memperoleh sumber daya tambahan; seluruhnya merupakan elemen masa kini dari masyarakat sipil Indonesia? Di masa depan, Penabulu meyakini bahwa peran masyarakat sipil dalam pembangunan berkelanjutan akan semakin tak tergantikan sebagai penjaga keseimbangan akhir di antara aktor pembangunan lainnya: pemerintah dan sektor bisnis. Namun keberadaan masyarakat sipil sendiri sesungguhnya terancam oleh beberapa masalah internal, antara lain kesenjangan sumber daya pendukung kerja jangka panjang, lemahnya kapasitas kelembagaan dan buruknya konsolidasi kekuatan di masing-masing sektor isu.

Penabulu kini mendorong dirinya untuk mengambil peran sebagai ‘civil society resource organization’. Sebagai organisasi sumber daya bagi masyarakat sipil di Indonesia, Penabulu akan berusaha sebaik-baiknya memobilisasi, mengelola dan menyalurkan sumber daya dalam bentuk apapun demi mendukung kerja-kerja masyarakat sipil di Indonesia. Penabulu sedapat mungkin akan mengkonversi energi yang diperoleh bagi upaya-upaya penguatan, pemberdayaan dan penjaminan keberlanjutan organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia. Merubah energi menjadi ruang tumbuh bersama, ruang konsolidasi kekuatan ide, gagasan dan keberpihakan masyarakat sipil di Indonesia, menjadi pemicu dan pemacu tata kelola pembangunan negeri ini yang lebih baik di masa depan.