Quantedge Advancement Initiative Ltd (QAI)

Periode program: 01 Oktober 2024 – 30 September 2026

Uraian

Pulau Lembata, dengan luas wilayah 1.259,76 km² dan jumlah penduduk 141.391 jiwa, dikelilingi oleh wilayah laut seluas 3.393.995 km² (72,83%) dan memiliki garis pantai sepanjang 493 km. Pulau ini telah lama dikenal sebagai Kawasan Keanekaragaman Hayati Utama (KBA) dan menjadi habitat bagi dugong, penyu, paus, pari manta, lumba-lumba, serta berbagai spesies karang. Namun, saat ini Pulau Lembata menghadapi ancaman serius terhadap ekosistemnya.

Data menunjukkan kerusakan ekosistem pesisir di Pulau Lembata. Tutupan mangrove telah menurun drastis hingga 40%, menyisakan hanya 1,2% dari luas pulau. Terumbu karang juga mengalami kerusakan berat, dengan hanya 20% yang masih tersisa. Di Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, tutupan karang pada kedalaman 3 meter hanya sebesar 7,67%, sementara pada kedalaman 9 meter hanya 4,34%. Kerusakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak berkelanjutan oleh manusia. Selain itu, dampak perubahan iklim memperparah kerusakan ekosistem dengan meningkatnya suhu atmosfer dan laut, serta semakin seringnya kejadian cuaca ekstrem, yang memperburuk degradasi ekosistem pesisir dan laut Pulau Lembata.

Ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem ini juga berdampak pada mata pencaharian penduduk setempat. Pada tahun 2023, terdapat 37.940 penduduk miskin atau sekitar 26,47% dari total populasi. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat secara signifikan seiring berlanjutnya degradasi ekosistem pesisir, yang secara langsung mempengaruhi mata pencaharian sekitar 63.595 orang (65,12%) di 77 desa pesisir (65,25%) di Kabupaten Lembata. Keterbatasan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat pesisir dalam mengambil keputusan mengenai dampak perubahan iklim, serta kebijakan top-down yang minim partisipasi masyarakat, turut memperlemah upaya mitigasi dan adaptasi lokal terhadap bahaya iklim.

Masyarakat Pulau Lembata memiliki sistem pengetahuan ekologi tradisional yang dikenal sebagai “Muro,” yang mengelola sumber daya pesisir dan laut melalui praktik sosial adat. Muro bertujuan untuk mencapai ketahanan pangan masyarakat dengan mengatur penggunaan sumber daya melalui mekanisme buka-tutup yang terjadwal. Secara ekologis, Muro berperan penting dalam melestarikan kehidupan laut serta mendukung ekosistem, termasuk terumbu karang, padang lamun, dan hutan bakau. Sistem ini mengendalikan akses terhadap sumber daya perikanan dan berfungsi sebagai kerangka tata kelola yang mengatur lembaga, peran sosial, aturan larangan, serta mekanisme penegakan hukum adat. Selain itu, Muro menjembatani pendekatan tata kelola tradisional dan modern melalui interaksi formal dan informal, serta menyediakan solusi lokal untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui tata kelola adat berbasis masyarakat.

Sebagai respons terhadap situasi ini, Penabulu akan memulai proyek untuk mempromosikan revitalisasi Muro sebagai solusi berkelanjutan dalam mengelola wilayah laut Lembata. Proyek ini bertujuan memformalkan Muro sebagai solusi berbasis lokal, memperkuat partisipasi masyarakat, serta mengadvokasi pengembangan Wilayah Laut yang Dikelola Secara Lokal. Inisiatif ini juga akan memberdayakan nelayan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini dilakukan untuk memulihkan keseimbangan ekologis sambil menghadapi tantangan sosial dan ekonomi akibat perubahan iklim.

Pendukung Program

Program ini didukung oleh Quantedge Advancement Initiative Ltd (QAI), periode program 01 Oktober 2024 – 30 September 2026.